Sabtu, 23 April 2011

ASAL CORET

Kunjungi blog baru saya di sini

Selengkapnya......

Kamis, 21 April 2011

MENGAPA KARTINI??

Antara Kartini dan Dewi Sartika


Kalimat itulah yang pernah saya lontarkan kepada seorang kawan. Terlalu bodoh memang pertanyaan itu. Semuanya hanya mengalir. Berawal dari peringatan Hari Kartini setahun lalu. Banyak orang mengagung-agungkan nama Kartini melalui berbagai media sosial jejaring. Sedangkan masih banyak wanita lain yang besar dan cukup berpegaruh di negeri ini. Namun seolah hanya nama Kartini yang pantas diagungkan. Taruhlah sebagai contoh Dewi Sartika. Kedua wanita ini sama-sama berperan dalam pengembangan pendidikan perempuan bumiputera. Sama-sama juga mempunyai darah kebangsawanan(trah bupati).

Dewi Sartika merintis pendidikan perempuan bumiputera dengan mendirikan Sekolah Istri. Sekolah yang dirintisnya di sebuah ruangan kecil di belakang rumah yang disinggahi bersama ibunya sejak 1902. Tentunya dia takut jika kegiatan melanggar adat yang dilakukannya itu diketahui oleh Pemerintah Hindia-Belanda. Kegiatan belajar itu lantas diketahui oleh Inspektur Pengajaran Hindia Belanda di Bandung, C. Den Hammer. Pada awalnya inspektur ini menyatakan kegiatan yang dilakukan Dewi Sartika adalah kegiatan terlarang dan membahayakan. Namun selanjutnya Inspektur Inspektur C. Den Hammer malah mendukungnya. Dia menyarankan agar Dewi Sartika menghadap Bupati Martanegara (yang konon mempunyai riwayat buruk dengan keluarga Dewi Sartika) untuk membicarakan pendirian sekolah wanita bumiputera.

Usul "Uwi" diterima oleh Bupati Martanegara. Dia bahkan memberikan tempat melangsungkan kegiatannya di pendopo kabupaten untuk mengantisipasi terjadinya penentangan dari masyarakat khususnya kalangan priyayi. Tanggal 16 Januari 1904 menjadi tonggak didirikannya "Sekolah Istri" (Sekolah Gadis) oleh "Juragan Dewi" dan menjadi sekolah khusus perempuan pertama di Hindia Belanda. Sekolah itu menampung 20 murid dengan Dewi Sartika sebagai salah satu gurunya dibantu Ibu Poerma dan Ibu Oewit yang merupakan saudara misan Uwi. Sekolah ini berkembang hingga akhirnya dipindah ke Jalan Ciguriang, Kebun Cau atas dana pribadi Uwi dan Bupati Bandung. Yah, walaupun kalangan priyayi umumnya masih menanggapi dingin keberadaan Sekolah Istri.

Baik Uwi maupun Kartini mempunyai latar berlakang yang sama dalam usahanya untuk memajukan pendidikan kaum perempuan bumiputera. Yaitu untuk membekali mereka agar hidupnya kelak menjadi lebih baik dan mengentaskannya dari pemahaman sempit kehidupan rumah tangga yang seakan menempatkan kaum pria selalu berkedudukan lebih.

Perjuangan kartini untuk bisa memberikan pendidikan bagi perempuan bumiputera amat panjang. Sejak dia mulai berkorespondensi dengan beberapa sahabatnya, Kartini sudah mengutarakan berbagai kegelisahannya terhadap nasib perempuan bumiputera. Untuk itu dia berharap dapat bersekolah di sekolah guru agar dapat mengajar. Naiatnya ini mendapat dukungan dari berbagai pihak, baik sahabat (kebanyakan anak pejabat Hindia) dan bahkan dari beberapa pejabat Hindia. Namun disisi lain, tentangan datang dari Ayahnya yang begitu dihormati dan tak mau anaknya menjadi sumber konflik di kalangan priyayi.

Pasang surut semangat terjadi dalam diri Kartini. Pernah dia hampir pergi ke Belanda untuk belajar. Impiannya pun membumbung tinggi, namun lantas lenyap. Atas anjuran sang ayah, Kartini meneruskan pendidikannya gurunya di Betawi. Kartini pun sepaham dengan pemikiran ayahnya itu, dengan harapan agar kelak ketika mereka membuka sekolah, masyarakat tidak hilang kepercayaan.

Kartini baru dapat mewujudkan cita-citanya untuk memberikan pendidikan perempuan bumiputera pada pertengahan 1903. Murid-muridnya merupakan anak-anak dari kalangan pegawai. Dalam salah satu suratnya untuk Ny. Abendanon-Mandri tertanggal 4 Juli 1903, calon murid yang pertama kali ingin dididik Kartini yaitu seorang anak pegawai bumiputera. Lantas menyusul anak-anak perempuan kolektur dan disusul seorang anak perempuan asisten kolektur. Anak perempuan jaksa Karimun Jawa juga mempercayakan pendidikannya kepada Kartini.

Ada hal yang membedakan antara perjuangan Uwi dengan Kartini. Dalam memulai proses pembelajaran Dewi Sartika bisa dikatakan memulainya dari bawah tanah. Dia memulai dengan proses yang sangat sederhana, memberikan ketrampilan yang pernah didapat kepada saudara dan siapa saja yang ada dirumahnya. (pada mulanya dia mengajari keterampilan kepada anak pedmbantunya yang tidak sekolah). Lantas dia mendirikan sekolah non formal di salah satu ruangan rumahnya.

Sedangkan pada Kartini, dia ingin langsung mendirikan sekolah formal bagi perempuan bumiputera. Dengan keterbatasannya, ia terlebih dahulu ingin menuntut pendidikan keguruan lantas baru mendirikan sekolah.

Yang menjadi nilai lebih dari seorang Kartini yaitu karena dia seorang yang rajin menulis. Kartini dikenal sebagai seorang perempuan kritis terhadap masalah perempuan bumiputera. Perhatiannya terhadap masalah perempuan tidak hanya dituliskan dalam surat-surat pribadi untuk para sahabatnya, namun juga termuat dalam berbagai media. Tulisannya mendapat banyak tanggapan positif dari perempuan Eropa dan Belanda. Mereka menaruh simpati terhadap nasib perempuan Hindia. Pandangan sinis justru datang dari kalangan priyayi pribumi.

Surat-surat Kartini menjadi rekam jejak perjuangannya dalam memperoleh dukungan dan empati terhadap nasib perempuan bumiputera.

Kartini pernah menulis gagasannya pada berbagai media seperti majalah wanita De Hollandse Lelie, Koran Locomotief, Echo, dan Majalah untuk anak negeri De Nederlandse Taal. Bahkan majalah de Echo memberikan kolom khusus baginya. Dalam tulisannya, Kartini tidak menggunakan nama aslinya, tapi menggunakan beberapa nama samaran seperti "Tiga Soedara" di de Echo.

Sedangkan dalam berkorespondensi, berikut adalah beberapa orang yang menjadi rekannya.
1. Tuan dan Nyonya Abendanon. Direktur Kementrian Pengajaran dan Kerajinan Hindia yang memperhatikan kemajuan pendidikan bumiputra.
2. Ir.H.H. van Kol dan Istrinya. Seorang politisi Belanda yang menentang penjajahan. Istrinya adalah salah satu penulis dalam De Hollandse Lelie. Kartini berkenalan melalui majalah itu.
3. Stella Zeehandelaar. Pegawai pos yang juga penulis. Mereka berkenalan dari majalah De Hollandse Lelie.
4. Nyonya Ovink. Istri seorang asisten residen yang pernah berkunjung ke Jepara.
5. Dr. N. Adriani. Seorang ahli bahasa dan juga penulis.
6. Hilda Gerarda de Booy. Anak perempuan Charles Boissevain, satrawan dan pimred Algemeen Handelsblad. Berkenalan ketika Kartini berkunjung ke Bogor.

Mengapa Kartini???
Karena dia MENULIS..jawab kawanku.

[dari berbagai sumber]

Selengkapnya......

Jumat, 29 Oktober 2010

Mbah Marijan dan "Wedhus Gembel"nya


Sore itu begitu panas, walaupun sesiang telah diguyur hujan. Semakin sore, hawa pun semakin memeras keringat bahkan membakar tulang. Awas! Dan penduduk pun berbondong menuruni jalan yang menyusur wilayah Kinahrejo. Tampaknya apa yang menjadi prediksi para ahli akan turunnya "wedhus gembel" benar adanya. Sang juru kunci pun mengamini hal itu. Namun dia memilih bertahan untuk tetap mengurusi wilayah kuasanya di lereng maut itu. Dan benar, "wedhus gembel" pun datang menghampiri disaat ia bersujud, mengantarnya kembali kepada Yang Empunya.

Siapa yang tak pernah mendengar nama Mbah Marijan? Sesosok tua yang tenar pula dengan pekik "ROSA!" dalam sebuah iklan minuman energi kenamaan semenjak tahun 2006-an. Iklan itu pula yang membuatnya menjadi salah satu selebriti negeri ini. Bukan pelawak, bukan penyanyi dadakan, bukan politisi, bukan artis sinetron, namun menjadi ruh dalam iklan yang dibintanginya itu.

Awalanya, beliau hayalah manusia biasa. Manusia yang terlahir di daerah pegunungan berapi teraktif di dunia, Merapi. Lahir dalam sebuah keluarga yang mempunyai keterikatan dengan gunung Merapi sebagai juru kunci. Jabatan yang diemban atas penunjukan penguasa Kraton Ngayogjokarto Hadiningrat. Atas dasar keturunan ini, Mbah Marijan yang ternyata juga pernah menjadi penasehat presiden Sukarno ini mendapatkan amanat untuk melanjutkan perjuangan ayahandanya sebagai juru kunci gunung Merapi sejak tahun 1982. Entah masuk dalam paniradya yang mana jabatan itu, namun yang jelas secara otomatis dia diangkat sebagai abdi dalem kraton. Pengangkatan sebagai juru kunci Merapi langsung dari Sri Sultan HB IX. Siapa yang sanggup menolaknya?
Bagi sebagian kalangan, kedudukan sebagai abdi dalem merupakan sebuah dambaan untuk menunjukkan pengabdian terhadap Kerajaan atau rajanya. Bisa juga sebagai sebuah pengharapan atas berkah kraton sebagai mana kepercayaan tradisional masyarakat.

Namun jabatan abdi dalem urusan juru kunci Merapi yang diemban oleh Mbah Marijan bukanlah jabatan yang sepele dan biasa. Ini bukan sekedar menyangkut nyawa. Namun menyangkut hubungan vertikal antara Kraton dengan Merapi sebagai simbol Tuhan dengan berbagai ritual dan tradisi yang telah ada. (Hal ini seperti yang diungkapkan Sri Sultan HB X dalam sebuah wawancara di televisi swasta). Dia sebagai seorang yang harus tahu dan paham dengan keadaan Merapi.
Nama Mbah Marijan menasional pada 2006 ketika terjadi erupsi Merapi yang merupakan siklus empat tahunan. Pada waktu itu, pria dengan nama lengkap Mas Panewu Surakso Hargo ini menolak untuk meninggalkan rumahnya yang hanya berjarak empat kilometer dari puncak Merapi. Walaupun kondisi Merapi sudah pada puncaknya dan diperkirakan akan erupsi. Ini bukan soal sensasi layaknya artis atau politikus. Tapi merupakan bentuk tanggug jawab sebagai seorang JURU KUNCI, orang yang paling terakhir. Dan terbuktilah, beliau akhirnya selamat. Sejak saat itulah sebagian masyarakat menganggap bahwa Mbah Marijan sebagai seoarang yang sakti.
Tak ada kata lain selain pasrah yang diucapkan oleh Mbah Marijan ketika terjadi erupsi Merapi tahun 2006. Hal ini seperti yang diucapkan pada putrinya bahwa beliau adalah manusia biasa yang juga makhluk Tuhan. Beliau pasrah bila Tuhan mau mengambil apa yang dimilikinya.

Sikap demikian terulang ketika terjadi gejala erupsi pada tahun 2010 ini. Mbah Marijan dengan tanggung jawabnya sebagai orang terakhir menolak untuk turun sebelum memastikan seluruh warganya dalam keadaan aman.

Namun tampaknya Tuhan telah berkehendak. Sang juru kunci pun menjadi orang yang benar-benar berada paling belakang dan terakhir. Tanggung jawab yang diamanatkan diemban hingga akhir hayatnya. Saat orang lain sibuk memikirkan keselamatan dunia, beliau tetap mengutamakan urusan akhirat. Ya, hubungan vertikal dengan Tuhan sesuai dengan amanat Sri Sultan IX (simbolisme hubungan Kraton-Merapi).

Hal inilah yang menjadikan Mbah Marijan bukan lagi sebagai manusia biasa. Keikhlasan untuk menjalankan tanggung jawab baik sebagai manusia cipataan Allah dan tanggung jawab sebagai pengabdi Kraton Yogyakarta. Perginya Mbah Marijan menjadi sebuah harga yang tak ternilai. Ini sesuai dengan ucapan Asih, putra Mbah Marijan bahwa bencana banjir Wasior, tsunami Mentawai, dan erupsi Merapi tiada artinya bila dibandingkan dengan wafatnya seorang 'alim. Itulah Mbah Marijan.
Khoir.......
(dari berbagai sumber)

Selengkapnya......

Sabtu, 29 Mei 2010

Inug Lagi


Tak terasa hari ini sabtu 29 Juni 2010, sudah lebih dari seribu hari kau berpulang, Inug, Nugie, Benyamin, atau siapalah panggilanmu. Maaf kawan, aku memang tak sengaja ingat kepergianmu yang sudah hampir tiga tahun ini. Enam semester jika dihitung dalam masa kuliah. Waktu yang panjang tentunya, karna kita bisa menempuh puluhan mata kuliah dalam waktu itu walaupun dengan nilai yang gak jelas. Sekarang masih jam 1 pagi, aku mendengar sayup-sayup berita malam, (yang lebih pantasnya disebut berita pagi sekali, karena hampir jam setengah dua sudah dibilang lewat tengah malam) yang mengabarkan peringatan 4 tahun keluarnya lumpur Lapindo. Lantas aku juga teringat gempa yang juga telah terjadi di Jogja-Jateng empat tahun lalu, beberapa hari lebih awal dari lumpur Lapindo. Kudengarkan berita itu tanpa sengaja sambil ku paksa otak ini untuk rehat sejenak, tidur. Namun ingatan ini seakan ingin bernostalgia, dan ternyata memang tak bisa ku tahan lagi. Kubiarkanlah memori ini meliar. Ingat gempa, berarti ingat pula masa KKN. Setidaknya itu bagiku, karena aku benar-benar meng Kuli-ahkan diri sebulan setelah gempa terjadi. Ternyata liar betul iangtan ini, dan tiba-tiba teringat pula satu nama, Nugie. Aku masih ingat betul dia bercerita pengalamannya KKN di daerah Pleret, Bantul bersama Maman yang beda jauh keadaannya dengan di lokasi aku di tempatkan. Lebih tepatnya aku iri, karena jatah makan mereka lebih terjamin dari pada aku yang harus beli sendiri dari hasil patungan. Tapi biarlah, itu tidak terlalu penting. Nostalgia soal gempa dan KKN tidak berlangsung lama. Mataku pun terus terpejam, berusaha mengelabuhi malam. Ingatanku malah kembali pada nama Nugie. Ya, empat tahun gempa, empat tahun KKN, berarti sudah hampir tiga tahun dia pergi. Benar, karena Nugie dikabarkan naik becak bersama temannya menuju rumah sakit pojok kampus beberapa hari sebelum pelepasan KKN 2007. Ah, mataku terpaksa kembali terbuka, dan kutatapkan tepat ke atas ke arah atap rumah. Aku kembali teringat wajah Nugie dengan rambut agak gondrong yang khas acak-acakannya menghadap arah kiblat. Aku masih sempat melihat raut mukanya yang nampak tanpa ekspresi (karena tidak bisa berbuat apa-apa lagi) ketika pakaian putih yang menutupi mukanya dibuka untuk ditempelkan ditanah. Dia pun tidak menolak ketika penggali kubur mulai menutup tidurnya dengan timbunan tanah. Aku yakin raut muka Nugie yang aku lihat terakhir itu raut muka kebahagiaan. Maaf, setidaknya dia tidak perlu lagi melanjutkan kuliah, bertemu dengan dosen-dosen yang kadang menjemukan, lebay. Dia juga tak perlu lagi mengerjakan berbagai tunggakan tugas, mengurus nilai yang tak pernah jelas itungannya. Maaf Gie, kamu beruntung juga karena tak perlu menyelesaikan Skripsi yang terkadang menggemaskan, dan tak perlu juga meributkan gelar, cemoohan dosen sendiri, atau mencari ladang kerja lulusan Ilmu Sejarah. Maaf juga, disini aku tidak mencoba untuk membela atau peduli dengan ilmu sejarah. Tapi itulah keadaannya Gie. Maaf gie, kalo bisa di bilang, aku dan tman-teman lain memang kebangetan. Sudah hampir tiga tahun kamu punya rumah sendiri, baru sekali kita berkunjung. Namun semoga ini tak mengurangi kebahagiaanmu disana Gie. Ingin sekali kita kembali berkunjung Gie, tapi waktu yang belum mengijinkan. Jika kamu masih bisa bersuara, mungkin kamu akan bilang "Mbok mampir cah...." dengan logat jawamu yang masih agak kaku. Maaf, dan sekali lagi maaf Gie...Suatu saat kita akan kembali menghampirimu, semoga dalam keadaan yang bahagia.
Maaf juga, foto diatas cuma buat ingetin aja....

Selengkapnya......